Psikolinguistik, Kajian
Senyapan dalam Produksi Kalimat
Hari
ini adalah hari senin dimana orang-orang dengan semangatnya mengawali rencana
yang telah mereka buat untuk satu minggu kedepan. Pada hari itu aku yang
terbangun agak siang dari biasanya langsung mengoletkan badan, sedikit demi sedikit
kutatap dunia sekitarku yang masih agak buram, kukedipkan mata, terpejam
kembali, berkedip lagi dan kembali terpejam, lalu kuhirup udara dalam-dalam dan
perlahan kulepaskan..haaaaah Alhamdulillah! . seketika terbayang bahwa hari ini
adalah hari yang padat dengan jadwal mata kuliah satu hari penuh, belum lagi
tugas yang menumpuk bak uang yang ada dikantor perpajakan .
Masih
dalam mata yang belum sempurna melirik keagungan tuhan yang maha kuasa,
terbayang wajah seorang teman kuliah yang menjadi primadona kelas berkat
interpesonanya yang WAHHH dibanding teman-temannya yang lain. “NGATNIKA! Opo
Lech Ngat!!”, begitu slogan teman-teman menyapa orang ini. Sifatnya yang lembut gemulai hampir setara
dengan putri solo saat ia merayu kandanya menari, belum lagi penampilannya yang
selalu sopan dan elegan untuk dipandangi, mubadzir kubro –amin,temanku menyebutnya-
bila terlewati. Wajahnya yang putih bersih berseri dengan rona yang selalu
membuat semua orang menggelitik tersenyum ikhlas dipagarinya dengan kerudung diimbangi
dengan sikapnya yang selalu meneduhkan
pandangan pancarkan keanggunan yang sempurna sehingga seakan seluruh masalah
hidup kami rontok sesaat setelah melihatnya.
Tak
ada gading yang tak retak, celetuk amin seketika saat kami bercerita saling
menilai siapa yang menawan diantara yang wanita tertawan sekelas. ”ada kekurangannya
man!”. Ya! Tapi bagiku itu hanyalah penyempurnadan pembeda yang dianugrahkan
tuhan pada temanku yang satu ini, saat
seseorang telah terperenjat kemaha eksotisan perempuan -layaknya aku ini- ia akan selalu mencari sisi positif dari
hal-hal yang dianggap orang lain sebuah kekurangan. Bagiku kekurangan itu ialah
sebuah cirikhas yang nyentrik yang membuat semua orang -terutama aku- menunggunya
meski hanya sebagai hiburan dengan
lahirnya tawa kami, entah karena gemesnya atau entahlah yang membuat kami semua
tertawa.
Suatu hari
aku mendapat giliran untuk berpresentasi suatu makalah. Aku yang memburu perhatian tak mau begitu saja menyia-nyiakan
kesempatan yang baik ini dengan mempersiapkannya jauh-jauh hari supaya dalam
presentasi nanti terlihat keren, karena asumsiku pada event seperti ini maka
seluruh pasang mata akan tertuju padaku, pada saat itu pula aku menjadi objek
perhatian tunggal, dan inilah kesempatan emas 24 karat itu merengkuh perhatian
Nica.
Selesaiku
memperlihatkan aksiku tibalah saat tanya jawab.”kepada teman-teman yang ingin
menanggapi, bertanya atau mungkin ingin menambahi kami persilahkan” dengan
santunnya amin mempersilahkan teman-temannya yang saat itu ia menjadi
moderator. Tak ada sepersekian detik ngatnika!, dengan gagahnya mengangkat
tanggannya, dan betapa bangganya aku, tubuhku terguncang serasa ingin terbang
keangkasa. “alhamdulillah, gak sio-sio!!” spontan dalam hatiku bersyukur pada
tuhan, andai saat itu aku tak duduk diatas kursi mungkin kesepontananku bisa
lebih parah, meloncat? Sujud syukur? Atau sebagainya sebagai tanda betapa
senangnya diriku. ”iya mbk nica –sapaan kerennya- silahkan!!”.sebelum Nica
melontarkan pertanyaan, dengan tidak sopannya sambilmeletakkan tangan
dimulutnya dan menundukkan kepalanya amin menyeletuk “emmmmmmmm”. Sontak
tawapun pecah dan kelas yang tadinya hining berubah seperti pasar yang gaduh
dengan hirukpikuknya karena tawa semua orang didalamnya, bahkan dosen kami yang
terkenal tak pernah kelihatan giginya kali ini terpaksa mencabut predikat
tersebut dengan memperlihatkan giginya karena tertawa.
Inilah
yang dikata amin sebagi sisi kekurangan seorang Ngatnika, ketika berbicara tak
lepasnya ia dengan suara “emmm” dicela-cela pembicaraannya. Seketika itu pula
fatwapun lahir menghujat gadis ini “haha, hadza min “patologi” lughoh” dengan
bringasnya bakir berkata, ada juga yang menirukannya hingga tawapun semangkin
tak terelakkan.
Masih
dengan kegaduhan yang belum usai, aku yang saat itu tak tertawa sendirian
berfikir, benarkah ini sebuah patologi bahasa?. Padahal patologi sendiri
didefinisikan sebagai gangguan atau kelainan dalam proses komprehensi dan
produksi bahasa yang disebabkan kerusakan organ wicara (alat ucap), neurologi
bahasa, kognisi otak, mental baik bawaan maupun penyakit atau terasingkan dari
masyarakat bahasa sehingga tidak mampu berkomunikasi dengan baik.
Jadi patologi itu bagi orang yang tidak normal organ bicaranya, atau
terasingkan dari masyarakat bahasa, atau mungkin karena mental atau kejiwaannya
terganggu. Dan bagiku Ngatnika itu terlepas dari semua masalah ini, entah
karena aku yang telah terhipnotis oleh pesonanya sehingga tak kudapati
kekurangan pada dirinya karena ketika insan telah jatuh cinta maka tak ada
sedikitpun ruang untuk logika masuk didalamnya, yang ada semua adalah indah dan
benar. Dan yang pasti patologi pasti menyebabkan kesulitan dalam berbahasa
sehingga orang yang mengalami patologi akan kesulitan berkomunikasi yang
berujung tidak fahamnya orang yang ia ajak bicara, sebab fungsi utama bahasa
ialah alat yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi
dan mengidentifikasi dirinya.
Dan ketika aku melakukan kegiatan ,berinteraksi dengan Nica maka menjadi barang
tentu aku memahami dengan sepenuhnya entah karena pada saat itu aku pasti
terfokus pada proses berbahasa itu sebab terperenjat pesonanya sehingga
meskipun ia penyandang patologi aku tetap memahaminya atau mungkin ia
benar-benar bukan orang yang terkena patologi bahasa.
Waktu
berjalan dengan cepatnya, hingga selesailah perkuliahan kami dengan masih serunya teman-teman memperbincangkan
EEMMMnya Nica, sedangkan aku masih tetap dengan penasaranku dan pertanyaan
besar dalam benakku, “benarkah itu sebuah patologi? Dan karena hal itu masih
menyangkut proses berbahasa, adakah kajian khusus mengenai hal ini dalam
psikolinguistik? Karena ilmu ini memiliki kajian pokok pada proses mental yang
dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa
”
Saat
semua teman telah beranjak dari kelas untuk sesuatu yang lain aku masih saja
ditempat dudukku dan saat aku keluar dari kelas kudapatilah temanku Nica itu
duduk sendirian didepan perpust dengan ceria meski baru saja ia dibully
habis-habisan oleh teman-temannya, tanpa berfikir panjang kulangkahkan kakiku
menghampirinya. “hai!, boleh aku duduk?” sapaku sok manis dan sok kalem
berharap ia menerima kehadiranku, meski tak mendapat jawaban darinya akupun
duduk disampingnya karena senyum dengan anggukan kepalanya serta gesture tubuh
yang membuat aku faham bahwa ia mempersilahkan aku untuk duduk disampingnya.
Aku yang menghampiri berarti aku yang harus mengawali pembicaraan begitu hati
berkata. “teman-teman kenapa ya? Kok nora’ sampai segitunya?. Emang kalo boleh
tau dan maaf sebelumnya EEMMmu itu gak bisa dihalangkan ya?” aku yang
sebelumnya takut mempersoalkan ini padanyapun memberanikan diri dengan lancang
bertanya langsung kepadanya guna mengobati rasa penasaranku. “mbah,mbah –sapaan
akrabku oleh semua teman kelasku- ngono kog dimasalahke tenanan, nganti mrepeng
iku wajahmu lho perkoro ulihmu takok (gitu aja kok jadi maslah
serius..Indonesia)” dengan wajah tersenyum mengejutkanku ia menjawab, karena
kukira ia akan marah dan ternyata semua tak seburuk yang aku kira. “gimana ya?”
lanjutnya dengan sumringah “aku ya pingin EEMM itu hilang, tapi saat aku
berbicara seolah tanpa aku tersadar EMM itupun muncul dengan sendirinya” masih
dengan sumringahnya iapun secara blak-blakan menceritakan perihal yang berkenaan
dengan itu padaku “penyebabnya saya juga kurang tahu, yang pasti jika saya
berbicara dengan temanku, bapak, ibukku dll EMM itu tidakmuncul, EMM muncul itu
saat aku berbicara didepan khalayak ramai lebih-lebih jika pembicaraan itu
syarat dengan berfikir seperti saat kau presentasi tadi!”
aku yang tercengang oleh curhatannya hanya bisa mengangguk asal mengangguk .”awal
dari semua itu bermula saat aku duduk dibangku kelas 2 aliyah dimana aku sudah
mulai berani berbicara dihadapan orang banyak dalam situasi yang serba formal
sehingga grogi menghampiri dan EEMMpun menjadi sahabatku, dan kini, berhubung
makin ramainya EMM itu dibicarakan oleh temen-teman dan membuatku kurang
percaya diri maka itu menjadi bom atom motivasi untuk melenyapkan EMM dariku.
Dan alhasil menurutku kini takseparah dulu” dengan menutup mulutnya ia kembali
tertawa lirih.
Setelah
pertemuan itu aku semakin yakin bahwa ini bukanlah merupakan patologi seperti
yang dikatakan oleh teman yang lain sehingga kuputuskan untuk mencari referensi
yang berkenaan dengan ini supaya aku bisa memerangi dan membenarkan hujatan
yang ditimpalkan pada Nica dan kukatakan dalam hatiku bahwa ini adalah bentuk
dari jihad untuk menolong orang yang telah didzolimi orang lain.
Setelah
mencari kesana kemari diantara rak-rak buku dalam perpustakaan kubuka
satupersatu buku yang ada, kulihat daftar isinya sampai akhirnya ku menemukan
buku karangan Soejono Dardjowidjojo yang berjudul Psikolinguistik. Pada bab
produksi kalimat disana dipaparkan adanya senyapan saat orang memproduksi
kalimat. Senyapan itu bisa dikarenakan
kita bernafas atau ragu-ragu. Alasan yang dituliskan mengenai senyapan itu
diantaranya ialah pertama, orang senyap karena ia telah terlanjur mulai dengan
ujarannya, tetapi ia belum siap untuk seluruh kaliamat itu, karenanya ia
mencari kata dalam senyap untuk melanjutkan kalimat tersebut. Kedua, karena dia
lupa akan kata-kata yang dia perlukan, oleh karena itu dia mencarinya untuk
melanjutkan ujaran. Ketiga, dia harus hati-hati dalam memilih kata. Dari sini
aku mulai menemukan jawaban mengenai kasus Nica temanku ini.
Masih
dengan buku yang sama aku masih saja asik menelisiki buku ini hingga
benar-benar kutemukan kejelasan. Pada halaman 144 disitu dijelaskan bahwa
senyapan sendiri terbagi menjadi dua macam: 1.senyapan diam, dan 2.senyapan
berisi. Pada senyapan diam pembicara berhenti sejenak dan diam saja lalu
setelah menemukan kata-kata yang dicari dia melanjutkan kalimatnya. Contoh saat
aku menanggapi pertanyaan saat presentasi aku bilang “menurut saya. . .hal itu
kurang tepat dst” dan untuk macam yang
kedua ini mungkin aku condong pada sesuatu yang menimpa Nica tadi, ia mengisi
senyapan dengan bunyi-bunyi tertentu yaitu bunyi EMM. Akan tetapi terkadang
senyapan bersuara itu juga tidak selalu dengan bunyi, kata juga sering
menjumpai orang mengisi dengan kata-kata tertentu seperti anu, siapa itu, apa
itu. Seperti saat orang melihat Agus ponakannya yang kebetulan pada saat itu ia
lupa sejenak nama ponakannya itu, “itu kan si siapa itu, agus ya”.
Berlanjut
kehalaman selanjutnya maka berlanjut pula keterangan yang aku peroleh, jika
Nica bilang kalau EMMnya itu hadir terlebih saat ia berfikir maka kemungkinan
ia terkena keraguan dalam memproduksi kalimat senyapan. Hal ini terletak pada
sesudah kata pertama dalam suatu klausa atau kalimat, ada lagi yang mengatakan
bahwa senyapan ini terdapat sebelum bentuk leksikal yang penting begitulah para
linguis saling beragumen. Namun demikian, nampaknya ada tempat-tempat dimana
para ahli sepakat yakni,1. Jeda gramatikal, 2. Batas konstituen yang lain, 3.
Sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
Jeda
gramatikal adalah tempat senyap untuk merencanakan kerangka maupun konstituen
pertama dari kalimat yang akan diujarkan. Sedangkan pada batas satu konstituen
dengan konstituen yang lainorang juga bisa senyap karena disinilah orang
merencaakan rincian dari konstituen utama berikutnya. Dan untuk tempat yang
ketiga yaitu sebelum kata utama pertama dalam konstituen. setelah kerangka
terbentuk maka konstituen harus diisi dengan kata-kata. Sebagai contoh saat
orang inggris telah mngucapkan kata the maka ia biasanya terdiam untuk
melanjutkannya.
Setelah
kulewati beberapa halaman, maka dapat saya simpulkan bahwa senyapan itu pada
umumnya ada ditengah-tengah pembicaraan. Yang membuat saya bertanya-tanya selanjutnya
ialah, lalu senyapan macam apa yang ada pada Nica itu? Karena ia memunculkan
suara EMM pada saat mengawali pembicaraan. Asumsi saya mengapa hal ini terjadi?
karena ia masih belum tenang saat mengutarakan pendapatnya didepan teman-temannya,
alhasil apa yang ia fikirkanpun bisa jadi hilang seketika saat ia akanmulai
pembicaraan dan terpaksa memikirkan kembali sehingga lahirlah EMM itu, atau
mungkin kini EMM itu memang sudah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia
merasa ada yang kurang jika berujar tanpa adanya EMM.
Dengan
pengakuannya jika EMM itu kini sudah tak separah dulu maka bisa aku simpulkan
bahwa dengan kketenangan saat berujar dan memupuk kepercayaan dan bekerja keras
untuk menghilangkan EMM dari dirinya akan membuat EMM saat berujar benar-benar
hilang, karena alangkah baiknya hal itu memang sesegera mungkin dihilangkan
jika ia menghendaki suatu pengujaran yang ideal, yaitu ujaran yang lancer,
sejak ujaran itu dimulai sampai ujaran tersebut selesai. Dan kata-katanya terangkai
dengan rapi, diujarkan dalam suatu urutan yang tak pernah putus, dan kalaupun
ada senyapan, senyapan itu ada pada konstituen-konstituen yang memang
memungkinkan untuk disenyapi.
Pada
saat aku membaca buku itu pula tak sengaja Nica berada didalam perpust untuk
mengerjakan tugas, dan saat aku memandangnya entah itu disengaja atutidak,
iapun memandangku sambil tersenyum seraya berkata dengan suara keras dan
sedikit menyentak-nyentak dan betapa terkejutnya diriku, ini bukanlah Nika yang
selama ini kukenal “Choleq….ndang tangi!!
Wis awan le, dikandani bar subuh ojo turu kog ora ngandel, marai feqer
le… eko sarapan karo susune wus siap” dan aku tambah terkejut jika kali ini
suaranya mirip dengansuara ibuku, dan GUBRAKK akupun terjatuh dari ranjang dan
kuakhiri lamunanku pagi itu dan tersadar bahwa semua itu tadi hanyalah ilusi
belaka.
NB:
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila terdapat nama tokoh dan jalur cerita
yang sama maka itu hanyalah suatu kebetulan saja. Hahaha!