Sabtu, 19 September 2015

DIFTONG BAHASA ARAB

Oleh: Abdul Cholik[2]
Abstrak
Sebagai kajian pokok ilmu fonologi, diftong yang termasuk dari klasifikasi bunyi bahasa secara otomatis mendapat perhatian penuh guna dikaji. Diftong sendiri bukanlah konsonan ataupun vokal, melainkan ia merupakan semi vokal yang terdiri dari dua vokal akan tetapi menghasilkan satu bunyi. Dari kedua vokalan itu diftong diklasifikasikan menjadi diftong naik dan turun. Dalam bahasa Arab kajian tentang diftong hanya ada dua bentuk yaitu ya’ sukun atau wau sukun yang didahului fathah, keduanya masuk dalam diftong naik. 
Kata kunci: Diftong, Vokal, dan artikulasi
A.  Pendahuluan
Berbicara tentang fonologi berarti kita sedang berbicara tentang bunyi bahasa, karena objek kajian dari ilmu ini ialah bunyi dan perihal yang bersangkutan dengannya.
Bunyi sendiri pada mulanya diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu bunyi vokal dan konsonan. Perbedaan dari keduanya dapat kita cermati dari proses fonasinya dimana bunyi vokal terjadi tatkala udara dari paru-paru dengan pita suara sedikit terbuka lalu udara tersebut keluar tanpa adanya hambatan, sedangkan konsonan mendapat hambatan dan kondisi pita suara terkadang terbuka agak lebar.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata didalam bahasa juga ada satu bunyi yang tersusun dari dua vokal sekaligus, bunyi ini dalam kajian fonologi disebut dengan nama diftong. Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana proses artikulasi diftong tersebut. Hal ini menarik karena ia mengandung dua macam vokal sekaligus. Lalu kita sebagai mahasiswa pendidikan bahasa Arab bertanya-tanya, seperti apakah diftong dalam bahasa Arab?.
Dalam makalah ini kami akan mencoba menjabarkan hal tersebut.
B.  Diftong dalam bahasa arab
Sebelum kita menelisik lebih jauh tentang diftong dalam bahasa Arab, marilah kita mengerti terlebih dahulu defenisi dari diftong. Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah, dan strikturnya. Namun bunyi yang dihasilkan bukan dua bunyi melainkan satu bunyi karena berada dalam satu silabel.[3] Contoh diftong dalam bahasa Arab adalah [au], seprti terdapat dalam kata yaum. Contoh lain adalah bunyi [ai] seperti terdapat dalam kata maidan.[4]
Dalam bahasa Arab, diftong dikenal dengan istilah nisful kharakat/semi vokal.[5] Hal ini berarti bahwa ia bukan sepenuhnya vokal (harakat) dan sekaligus bukan sepenuhnya pula ia termasuk konsonan (huruf). Hal tersebut terjadi karena dilihat dari proses fonasinya ia mendapatkan hambatan yang berarti ia juga memiliki makhraj khusus yang kedua hal ini melekat pada ciri-ciri huruf. Akan tetapi jika kita cermati dari cara pengartikulasiannya diftong tidak sampai sempurna seperti halnya yang terjadi didalam huruf, bahkan lebih mirip dengan penuturan vokal dari segi bentuk bibir ketika mengucapkannya.
Ibnu jizri memasukan diftong kedalam kelompok sukun, karena menurut beliau bunyi dalam bahasa Arab diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: huruf, harokat, sukun.[6]
Sukun sendiri nantinya dibagi menjadi dua yaitu yaitu mayyitun dan hayyun. Lalu beliau menyebutkan bahwa yang termasuk dari kelompok mayyitun adalah alif dan ya sukun yang di dahului kasroh, serta wawu sukun yang di dahului dlummah. Lalu sukun yang hayyun menurut beliau apabila ada wawu atau ya sukun yang di dahului dengan fathah. Sukun yang hayyun ini nantinya kita sebut sebagai diftong dalam bahasa Arab.
Makhorijul  dari sukun yang hayyun ialah dari lisan dan antara dua bibir menurutnya. Beliau lalu mencontohkan kata romaitu dan afautu untuk masalah ini.
Ada juga yang membagi suara bahasa Arab menjadi shomit dan kharokat, namun dalam membahas hal ini ulama’ membahas wawu dan ya’ dalam bahasan tersendiri.
a.       Tatkala ia berharakat maka ulama memasukannya dalam kelas bunyi bahasa kharakat.
b.      Tatkala ia sukun dan sebelumnya berkharakat yang menyebabkan ia dibaca panjang (ya’ sukun yang sebelumnya kasroh, dan wawu sukun yang sebelumnya dlummah) maka ulama menyebutnya hal ini dengan istilah kharakat thowilah.
c.       Dan apabila ia sukun dan sebelumnya berkharakat fathah, maka ulama’ mengistilahkan ini dengan syibhul kharokat.[7]
Untuk wawu sukun yang sebelumnya berkharakat kasrah dan ya’ sukun yang sebelumnya berkharakat dlummah dalam bahasa Arab tidak ditemukan hal ini dalam satu kata.
C.  Macam-macam diftong.
Seperti yang telah kami paparkan dimuka bahwa diftong juga dikenal dengan istilah vokal rangkap karena ia terdiri dari dua vokal akan tetapi membentuk satu bunyi karena bunyi tersebut berada dalam satu silabel. Karena terdiri dari dua vokal itulah nantinya kita bisa membuat pengklasifikasian diftong. Dari sana kita akan dapatkan macam-macam diftong nantinya.
Diftong sering dibedakan berdasarkan letak atau posisi unsur-unsurnya.[8] Yang dimaksud unsur-unsur tersebut ialah dua vokal yang menyusun suatu diftong itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud letak atau posisi disini adalah tinggi rendahnya suatu vokal. Berikut gambaran tingkatan posisi suatu vokal. Dari yang tertinggi ke terendah.
 




Selanjutnya diftong dibagi menjadi diftong naik dan diftong turun. Disebut diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendahdari posisi bunyi kedua, sebaliknya disebut diftong turun apabila bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua.
Melihat pembagian diftong dalam bahasa Arab menurut imam Jizri yaitu apabila ada ya sukun yang didahului fathah /ai/ dan  wawu sukun yang didahului fathah /au/ maka bahasa Arab hanya mengenal diftong naik.
D. Artikulasi diftong bahasa Arab.
Berikut ini deskripsi dari dua semivokal dalam bahasa Arab, sebagai berikut:
1.    Waw (و)
Untuk memproduk semivokal ini, organ bicara mengambil posisi seperti akan
menuturkan sebuah vokal (u), tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut mengubah posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
Kedua bibir membulat untuk memodifikasi arus udara yang datang dari paru-paru, tetapi tidak sampai menghambat arus udara secara kuat.
Pita suara berada dalam posisi berdekatan sehingga terjadi getaran ketika udara melewati areal ini.
Saluran udara ke rongga hidung tertutup sehingga semua udara keluar dari rongga mulut. Oleh karena itu, semivokal ini di deskripsikan dengan: /bilabial/semivokal/bersuara/.
Sebagian ulama mengatakan bahwa organ bicara yang bekerja sama menghambat udara yang datang dari paru-paru adalah pangkal lidah naik ke langit-langit lunak, mirip seperti menuturkan kha, ghain, kaf.
Oleh sebab itu, semivokal ini dideskripsikan dengan: /darsovelar/semivokal/bersuara/.
2.    Ya’    (ي)
Untuk memproduk semivokal ini, organ bicara mengambil posisi seperti akan menuturkan sebuah vokal (i). Tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut mengubah posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
Tengah lidah bekerja sama dengan langit-langit untuk menghambat arus udara yang datang dari paru-paru, tetapi hambatan tersebut tidak kuat sehingga arus udara bisa keluar dengan leluasa di daerah ini.
Kedua bibir membentang untuk memodifikasi arus udara yang datang dari paru-paru, sedangkan pita suara berada dalam posisi berdekatan sehingga terjadi getaran ketika udara melewati areal ini.Saluran udara ke rongga hidung tertutup sehingga semua udara keluar dari rongga mulut. Oleh karena itu, semivokal ini di deskripsikan dengan: /mediopalatal/semivokal/bersuara/.[9]
E.  Kesimpulan
1.        Diftong adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan posisi lidah saat memproduksi bunyi ini tidak sama dibagian awal dan akhirnya.
2.        Didalam bahasa Arab hanya ada dua bunyi diftong yaitu /au/ dan /ai/ yang keduanya termasuk dalam diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dibandingkan dengan bunyi yang kedua.
3.        Artikulasi diftong waw ialah organ bicara mengambil posisi seperti akan menuturkan sebuah vokal (u), tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut mengubah posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
4.        Artikulasi diftong ya’ ialah organ bicara mengambil posisi seperti akan menuturkan sebuah vokal (i). Tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut mengubah posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).


Daftar Pustaka
Bu anani, Musthofa. 2010. fii shoutiyati al arobiyyah wal ghorbiyyah. al alimil kutub al hadist.

Chaer, Abdul. 2005. Linguistik Umum. Jakarta: Renika Cipta.

Hidayatullah, Moch. Syarif dan Abdullah. 2010. Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern). Jakarta: UIN Syarif hidayatullah.

Nasution , Ahmad Sayuthi Anshori. 2010. Bunyi Bahasa: ilm al aswat al arabi, Jakarta: Grafika Ofset.

Hasan, Muhammad. 2006. Mukhtasor fil aswatil lugoh al arabiyyah, Kairo: Maktabal Adab.



[1] Materi ini disusun guna memenuhi bahan diskusi mata kuliah ‘Ilm al-ashwat al’Arabiyyah
[2] Mahasiswa Program Studi Bahasa Arab semester III
[3] Abdul Chair, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal: 115
[4]Moch. Syarif Hidayatullah, dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern), (Jakarta: UIN Syarif hidayatullah, 2010), hal: 42
[5] Ahmad Sayuthi Anshori Nasution, Bunyi Bahasa: ilm al aswat al arabi, (Jakarta: Grafika Ofset, 2010), hal:86
[6]Musthofa Bu anani, fii shoutiyati al arobiyyah wal ghorbiyyah, (al alimil kutub al hadist: 2010), hal:95
[7] Muhammad Hasan, Mukhtasor fil aswatil lugoh al arabiyyah, (Kairo: Maktabal Adab, 2006), ha.151
[8] Abdul Chair, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal: 115
[9] Ahmad Sayuthi Anshori Nasution, Bunyi Bahasa: ilm al aswat al arabi, (Jakarta: Grafika Ofset, 2010), hal:108

Sabtu, 05 September 2015

BAHASA LOGIS PEMBANGUN HUBUNGAN HARMONIS


PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita melihat banyak kasus atau permasalahan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, atau bahkan antar individu dengan individu yang lain, kasus-kasus tersebut berfariatif bentuknya, mulai dari tawuran, kesalah fahaman,bentrok, dan lain sebagainya. Lalu ternyata setelah kita mengamati akar dari permasalahan tersebut, tak jarang permasalahan itu beranjak dari hal-hal yang spele yaitu omongan yang memicu emosi orang lain, dan keadaan itu diperparah lagi dengan orang lain yang diajak berbicara itu begitu saja menerima omongan orang lain tanpa berfikir lebih jauh benar/logis atau tidak apa yang ia omongkan.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal selalu hadir ditengah-tengah kita sebagai manusia yang kodratnya menjadi makhluk sosial selalu menjalin komunikasi dengan manusia-manusia yang lain. Untuk menggunakan bahasa tadi ternyata kita tidak cukup hanya menguasai bahasa orang yang kita ajak bicara, melainkan kita juga harus memperhatikan hal lain yang erat kaitannya dengan penggunaan bahasa saat kita melakukan komunikasi supaya komunikasi kita dengan manusia yang lain menuai hasil yang baik sesuai harapan kita, bukan sebaliknya menimbulkan permasalahan dan berujung pada ketidak harmonisnya hubungan kita kepada orang yang baru saja kita ajak bicara.
Diantara hal-hal tersebut ialah sopan santun, budaya, ekspresi hingga logis tidaknya bahasa yang kita ucapkan, karena dengan bahasa yang logis, orang lain dengan legowo menerima pernyataan yang kita ucapkan itu hingga nyaris tidak adanya rasa ingin membantah ungkapan kita, karena kebenaran ungkapan kita juga diakui oleh mereka.
Dengan bahasa yang keluar melalui tahap-tahap berfikir logis juga kita akan bisa meluruskan permasalahan-permasalahan yang timbul diantara manusia pengguna bahasa, karena lagi-lagi kebenaran yang dibawahi oleh bahasa yang logis membuat semua orang tunduk dan permasalahan diatasi tanpa campurtangan ego yang dibawa oleh orang yang bersangkutan.
Maka dari itu, penting kiranya kita berkomunikasi dengan bahasa yang logis karena dengan bahasa yang logis menghantarkan kita pada hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitar kita.
Secara umum tema yang diangkat penulis ini berhubungan erat dengan materi kuliah logika “Kedekatan Bahasa dan Logika”, namun penulis disini ingin menghubungkan teori kedekatan itu dan mengimplementasikannya dengan kehidupan sehari-hari karena bahasa secara umum -entah itu bahasa yang logis atau tidak- selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari.
RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan logis?
2.      Bagaimana hubungan kelogisan dengan bahasa?
3.      Mengapa kelogisan bahasa bisa mengharmoniska kita dalam berhubungan dengan orang lain?


Kamis, 03 September 2015

Pengertian Etika

a.   
Etika menurut William C. Frederick ialah seperangkat aturan/undang-undang yang menentukan pada perilaku benar dan salah.[1] Etika merupakan suatu studi moralitas. Kita dapat mendefinisikan moralitas sebagai pedoman atau standart bagi individu atau masyarakat tentang tindakan benar dan salah atau baik dan buruk. Etika merupakan cabang filsafat yang membahas nilai dan norma, moral yang mengatur interaksi perilaku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Perilaku benar apabila kita dalam melakukan perilaku tersebut menyebabkan orang yang berada disekitar kita nyaman dan memberi keuntungan bagi mereka,dengan kata lain suatu tindakan disebut baik kalau hal itu sesuai dengan kodrat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi yang berbadan dan berjiwa, di cipta Tuhan, hidup bersama manusia dan memelihara hidupnya dengan ciptaan lain.[2] sedangkan perilaku yang buruk ialah apabila dalam kita berperilaku masyarakat atau orang yang berada disekitar kita enggan menerima perilaku kita dikarenakan perilaku tersebut memberikan kerugian terhadap mereka.
Yang perlu diperhatikan dan digaris bawahi disini ialah bahwa nilai baik atau buruk disini bersifat universal.[3] Artinya bahwa baik atau buruk itu bukanlah penilaian secara subjektif oleh seseorang semata, akan tetapi penilaian baik itu diberikan oleh masyarakat secara umum meskipun pada mulanya penilaian baik atau buruk itu berawal dari individu orang yang memberi penilaian terhadap suatu hal, karena secara kodrati individu tiap manusia memiliki jiwa yang bebas untuk cenderung mengekspresikan keingininannya termasuk dalam memberikan penilaian terhadap apa yang mereka lakukan, dari kecenderungan tersebut tak heran jika manusia menilai apa yang menurutnya menguntungkan bagi dirinya adalah hal yang baik meskipun hal tersebut merugikan bagi orang lain, akan tetapi disisi lain menusia juga makhluk sosial yang mesti hidup berdampingan dengan manusia yang lain, maka dari itu melihat fenomena diatas menjadi barang tentu dalam menentukan suatu perilaku bernilai baik atau buruk nantinya akan ada semacam dilog sosial yang melibatkan masyarakat yang berugung pada masyarakatlah yang menjadi penentu perilaku trrsebut baik atau buruk.
Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosifis yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan memutuskan pola-pola dan perilaku yang sebaik-baiknya berdasarkan timbangan norma-norma moral yang berlaku.[4] Jadi didalam etika kita akan mengenal bahwa norma-norma moral yang nantinya akan menjadi sumber, dan diluar sana terdapat banyak norma seperti norma kesusilaan, norma hukum, norma adat, dan norma agama. Diantara norma-norma yang belaku dimasyarakat, norma agamalah yang disebut-sebut sebagai sumber etika yang paling mendasar karena ia juga berperan sebagai sumber keyakinan yang paling asasi, filsafat hidup manusia.
Didalam islam kita akan mengenal dua sumber yang agung yaitu Al-qur’an dan hadist yang sekaligus menjdi sumber etika kehidupan yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan ibadah, perbuatan atau aktivitas umat islam yang benar-benar menjalankan ajaran islam. Akan tetapi dalam implementasi pemberlakuan kedua sumber ini secara lebih subtansif sesuai dengan tuntutan perkembangan budaya dan zaman yang selalu dinamis ini diperlukan suatu proses penafsiran, ijtihad baik bersifat kontekstual maupun secara tekstual, oleh karenanya diperlukan proses pemikiran dan logika yang terbimbing oleh nalar sehat,pikiran jernih, dan nurani yang cerdas dalam pemahaman kudua sumber diatas. Berawal dari proses tersebut tak jarang semua norma yang berlaku sebenarnya telah tercantum dan dibahas didalam Al-qur’an dan hadist.
b.      Hubungan moralitas, norma, perundangan, dan etika
Dalam membahas pengertian etika diatas sering sekali istilah tersebut berkaitan erat dengan istilah moral, norma, dan perundang-undangan. Bahkan sebagaian dari kita mungkin mengartikan etika sama dengan istilah yang telah disebutkan diatas, padahal apabila kita teliti lebih lanjut semuanya memiliki konsep dan pengertian yang berbeda bahkan perbedaan dari semuanya cukup mendasar pula.
Kata norma beretimologi latin yaitu norma. Arti dasarnya adalah siku yang dipakai tukang kayu untuk mengecek apakah benda yang ditukanginya sudah lurus atau normal. Dalam hidup harian norma dimengerti sebagai pegangan atau pedoman, aturan, tolak ukur, atau kaidah untuk menilai suatu sikap dan tindakan sehingga tindakan tersebut disebut baik atau tidak baik, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.[5]
Kata moral berasal dari bahasa latin yakni: mos (singularis) dan ,mores (plural), yang artinya adat, kebiasaan. Jadi ketika norma dan moral dipadukan kurang lebih akan memiliki pengertian sebagai adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang berfungsi sebagai pegangan, tolak ukur dalam bertindak dalam kehidupan bersama. Menurut K.Banten (1994) moral adalah nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
            Sedangkan etika jauh lebih luas pengertiannya dan cakupannya dibanding dengan istilah moral. Menurut Franz Magnis suseno (1993) etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan dan pandangan moral secara kritis. Istilah etika disamakan dengan istilah filsafat moral yang telah menunjukan bahwa kajian etika tidak dalam konteks pengertian deskriptif, namun dalam bentuk kajian kritis dan normatif dan analitis.[6]
            Sedangkan etika dan perundang-undangan tidak persis sama, akan tetapi undang-undang yang berlaku dalam aspek tertentu dapat sama dengan etika, karena keduanya mengatur dan menentukan perbuatan benar dan salah.
c.       Makna Etika Profesi Keguruan
Seperti yang telah dipaparkan dimuka bahwa etika akan mengatur manusia dalam berperilaku, sedangkan Profesi -seperti yang telah dikaji secara detail dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya- memilii arti sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Webstar, 1989).[7]



[1] Ali Mudlofir, Pendidik Profesional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hal.38
[3] Ali Mudlofir, Pendidik Profesional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hal.45
[4] Ali Mudlofir, Pendidik Profesional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hal.51Hlm. 198
[6] Ali Mudlofir, Pendidik Profesional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hal.51
[7] Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Hlm.45

Rabu, 02 September 2015

Peserta Didik

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Salah satu komponen dalam system pendidikan adalah adanya peserta didik, peserta didik merupakan komponen yang sangat penting dalam system pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak ada yang dididiknya.
 Peserta didik adalah orang yang memiliki potensi dasar, yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis, baik pendidikan itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun dilingkkungan masyarakat dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus memahami hak dan kewajibanya serta melaksanakanya. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh peserta didik, sedangkan kewajiaban adalah sesuatu yang wajib dilakkukan atau dilaksanakan oleh peserta didik.
       Namun itu semua tidak terlepas dari keterlibatan pendidik, karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang dimensi-dimensi yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik itu sendiri, kalau seorang pendidik tidak mengetahui dimensi-dimensi tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan, dan peserta didikpun juga mengenali potensi yang dimilikinya.
       Dalam makalah ini, kami mencoba menghidangkan persoalan-persoalan diatas guna mncapai tujuan pendidikan yang diharapakan, khususnya dalam pendidikan dalam hal pendidikan Bahasa Arab.

B. Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian peserta  didik?
2.   bagaimana pertumbuhan dan perkembangan peserta didik itu ?
3.   Teori umum apa saja yang membahas tentang perkembangan peserta didik?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Peserta didik

Dalam pengertian umum, peserta didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang, atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sedangkan dalam arti sempit, Peserta didik adalah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik.[1]
Maka dari itu peserta didik dapat dikatakan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan.berhubung manusia adalah makhluk dwi tunggal yang terdiri atas jasmaniyah dan rokhaniyah,[2] maka  Potensi yang dimaksudkan disini dapat kita mengerti meliputi potensi akal, rokhani, dan jasmani. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa tumbuh dan berkembang kearah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami perkembangan sejak lahir sampai meninggal dan perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar.[3] Perubahan yang diharapkan disini ialah perubahan yang menuju kebaikan, dan bukanlah sebaliknya.

Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik sebagaimana dijelaskan oleh Umar Tirtarahardja dan La Sulo adalah bahwa peserta didik merupakan:
1.                   Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas.
2.                   Individu yang sedang berkembang.
3.                  Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
4.                   Individu yang memilki kemampuan untuk mandiri[4]
Karena inti dari kegiatan pendidkan adalah pemberian bantuan kepada anak didik dalam ragka mencapai kedewasaan, maka implikasi dalam hal ini adalah sebagai berikut :
Ø    Bahwa yang dibantu bukanlah seorang yang sama sekali tidak dapat berbuat, melainkan makhluk yang bisa bereaksi terhadap rangsangan yang ditujukan kepadanya.
Ø    Bahwa pencapaian kemandirian harus dimulai dengan menerima realita tentang ketergantungan anak yang mencakup kemampuan untuk beridentifikasi, bekerjasama, dan meniru pendidiknya.[5]

B.  Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik
Peseta didik adalah manusia yang sedang dalam proses menuju  kesempurnaan atau kematangan potensi dasar yang mereka miliki. Manusia sendiri adalah makhluk dwi tunggal yang terdiri atas jasmaniyah (fisik) dan rokhaniyah.[6]
Dalam hal perubahan menuju semangkin maksimal ini meliputi kemajuan dalam  aspek psikis peserta didik seperti kemampuan cipta, karsa, ras, kematangan pribadi, kepekaan spiritual, keimanan dan ketaqwaan, atau yang erat hubungannya dengan rokhaniyah dinamakan dengan perkembangan. Sedangkan proses proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah ) yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan dinamakan pertumbuhan. Jadi, pertumbuhan lebih erat kaitannya dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis.contohnya pertambahan tinggi badan, berat badan, semangkin efektifnya fungsi-fungsi otot tubuh dan organ fisik, dan lain-lain.
Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner(1957) bahwa perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai ke keadaan di mana diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayata totalitas itu lambant laun bagian- bagiannya akan menjadi semakin nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan.[7]
Tahap-tahap perkembangan yang mengandung masa peka terhadap diri peserta didik banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti aristoteles,jean piget, JJ Rousseau dan lain-lain. Mereka telah mengemukakan gagasannya bagaimana proses dan tahap-tahap  perkembangan pada peserta didik. Masing –masing peserta didik memiliki loncatan dan kelambatan pada jenis usia perkembangan yang berbeda.
            Terhadap semua hal yang telah digambarkan tersebut,paling tidak ada lima asas perkembangan pada peserta didik antara lain:
a.    Tubuhnya selalu  berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya
b.    Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, hal ini menyebabkan  dia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
c.    Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta membutuhkan pendidikan untuk kesejahteraan anak didik
d.   Anak mempunyai daya berekspresi
e.    Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.[8]

C.  Teori Umum Perkembangan Peserta Didik
Teori-teori yang dimaksudkan disini ialah teori yang menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi perkembangan peserta didik. Secara umum faktor tersebut bisa diklasifikasikan menjadi empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Berikut penjelasan dari teori-teori tersebut:
·      Empirisme
Secara bahasa empirisme berasal dari bahasa yunani empera yang berarti coba-coba atau pengalaman.[9] Teori ini dipelopori oleh filusuf ternama john lokce yang mengatakan bahwa perkembangan anak itu tergantung dari pengalaman, sedangkan pembawan tidaklah penting. Aliran John lokce merintis aliran baru yang dikenal dengan teori Tabula Rasa yang beranggapan anak terlahir didunia bagaikan kertas putih. Istilah lain dari empirisme adalah eviromentalisme sebab aliran ini menekankan pengalaman empiris yang berupa rangsangan yang berasal dari lingkungan.[10]
            Dari sini maka sangatlah besar peran yang dimainkan oleh seorang pendidik guna mensukseskan pendidikan peserta didiknya, karena dari peran merekalah para peserta didik menerima segudang pengalaman yang pendidik berikan mulai dari materi pelajaran, perilaku, moral, dan lain-lain.
·           Nativisme
          Kata nativisme berasal dari native yang berarti terlahir. Teori yang dipelopori oleh Schopenhauer ini berpendapat bahwa bayi manusia sejak lahir telah dikaruniai bekal bakat dan potensi baik dan buruk. Sehingga anak sudah membawa bakat atau potensinya sendiri-sendiri.[11] Jadi anak yang sudah membawa potensi baik sejak lahir, maka ia akan menjadi manusia yang lebih baik diantara yang lain, begitu sebaliknya.
          Secara umum teori ini sangatlah kontradiktif dengan teori sebelumnya, yaitu empirisme. Bila kita melihat fakta yang terjadi dilapangan dimana setiap peserta didik memiliki pengalaman yang tidaklah sama dalam menangkap materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidiknya, maka teori ini adakalanya memang benar adanya lalu  dalam kajian ilmu biologi kita mengenal hereditas atau gen yang nantinya baik tidaknya keterunan itu dilihat dari baik tidaknya gen orang tua yang melahirkannya.
·           Naturalisme
          Teori ini dipelopori oleh Jean Jaques Rousseau dengan asumsi bahwa anak sejak lahir sudah membawa potensi baik. Adapun akhirnya ia menjadi jahat itu disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari masyarakat yang memang sudah rusak atau jahat.[12] Teori ini bisa kita katakan sebagai teori kombinasi dari teori-teori sebelumnya, yaitu empirisme dan navitisme. Bedanya dengan nativisme adalah dalam teori ini manusia terlahir tanpa membawa potensi yang buruk.
            Dalam bukunya yang berjudul Emile, JJ Rousseau menceritakan bahwa pendidikan harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara individual dengan cara menjauhkan peserta didik dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat sehingga segenap potensi kebaikan pada diri anak bisa berkembang secara bebas, alamiah, dan spontan.
·           Konvergensi
          Teori ini muncul belakangan setelah teori-teori yang telah disebutkan diatas. Dalam teori ini semua teori diatas memiliki kekurangan yang mana kekurangan tersebut ada pada teori yang lain. Dari sini teori konvergensi muncul guna menemukan bentuk yang sempurna dengan mengkombinasikan atau menggabungkan segala teori yang ada.
          Teori yang dipelopori oleh Wiliam Stern ini beranggapan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (sebagai mana yang diungkapkan oleh nativisme dan naturalisme) yaitu potensi yang dibawa sejaklahir juga dipengaruhi oleh pengalaman, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal (seperti yang dituturkan oleh empirisme).[13]
Implikasi dari teori ini adalah:
*        Pendidikan mungkin dilaksanakan.
*        Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi yang buruk atau kurang baik.
*        Yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.













BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan

1.    peserta didik adalah manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri (belum dewasa) melalui proses pendidikan yang didalamnya terjadi proses mempengaruhi oleh manusia lain yang sudah dewasa.
2.    Proses ini meliputi perkembangan dan pertumbuhan, dimana perkembangan itu kaitannya dengan potensi rokhaniyah, sedangkan potensi jasmani erat hubungannya dengan pertumbuhan.
3.    Teori umum yang membahas tentang perkembangan anak itu ada 4: 1.empirisme (faktor pengalaman), 2.nativisme (bawaan sejak lahir), 3.naturalisme (manusia lahir dengan potensi yang baik), 4.konvergensi (kombinasi dari ketiga teori sebelumnya).





DAFTAR PUSTAKA
1.      Abu ahmadi, dan Nur Uhbiyati, 2003, Ilmu Pendidikan, Jakarta, Renika cipta
2.      Maunah, binti, 2009, Ilmu pendidikan, Yogyakarta Teras
3.      Arif rohman, 2009, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan , Yogyakarta, laksBang Mediatama  
4.      Sumber filsafat Ilmu/Aliran-Aliran filsafat Empirisme. 23 november 2013





[1] Maunah, binti, Ilmu pendidikan, (Teras: Yogyakarta 2009), hlm.82
[2]  Abu ahmadi, dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Renika cipta: Jakarta 2003), hlm.15
[3] Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (laksBang Mediatama    Yogyakarta 2009), hlm 105-106
[4] Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (laksBang Mediatama    Yogyakarta 2009), hlm 107
[5] Maunah, binti, Ilmu pendidikan, (Teras: Yogyakarta 2009), hlm.84
[6] Abu ahmadi, dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Renika cipta: Jakarta 2003), hlm.15
[8]  Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (laksBang Mediatama    Yogyakarta 2009), hlm 118-130

[9] Sumber filsafat Ilmu/Aliran-Aliran filsafat Empirisme. 23 november 2013
[10] Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (laksBang Mediatama    Yogyakarta 2009), hlm 114
[11] Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan  (laksBang Mediatama :  Yogyakarta 2009), hlm 115
[12] Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (laksBang Mediatama:    Yogyakarta 2009), hlm 116
[13] Arif rohman,Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (laksBang Mediatama    Yogyakarta 2009), hlm 116