Oleh: Abdul Cholik (13.11.00693)
Secara sederhana istilah linguistik diturunkan dari bahasa latin lingua
yang berarti bahasa, kemudian dalam penggunaannya istilah linguistik dipahami
sebagai disiplin ilmu yang berbicara atau menjadikan bahasa sebagai objek yang
ia kaji. Selanjutnya orang yang ahli didalam ilmu ini lazim disebut dengan
linguis.
Bahasa yang menjadi objek kajian ilmu linguistik memiliki
pengertian sebagai sitem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, konvensional,
produktif, dan berfungsi sebagai alat komunikasi manusia.
Bahasa dikatakan sebagai sistem karena ia bukan suatu hal yang
tunggal, dalam artian ia terdiri dari komponen-komponen yang saling
berinteraksi sehingga muncullah bahasa tersebut. Diantara komponenen-komponen
bahasa tersebut ialah fon, fonem, morfem, dsb. Selanjutnya bahasa dikatakan
lambang bunyi karena pada hakikatnya bahasa melambangkan sesuatu yang ada
dikehudupan manusia. Sebagai contoh beberapa kertas kuning yang dituliskan
tulisan Arab lalu dijilid dilambangkan (dibahasakan) dengan “kitab” dsb,
pelambangan-pelambangan tersebut nantinya
akan berupa bunyi yang keluar dari alat ucap manusia, jadi tidak
semua bunyi bisa dikatakan sebagai bunyi bahasa melainkan minimal bunyi
tersebut haruslah bunyi yang melambangkan tentang suatu hal dan ia tersusun dari
komponen-komponen bahasa selain juga ia keluar dari alat ucap manusia tadi. Dan
perlu digarisbawahi pula bahwa bunyi yang digunakan untuk melambangkan suatu
hal itu sifatnya manasuka, jadi tidak akan diketemukan mengapa hal itu
dilambangkan dengan bunyi ini dan seterusnya. Dari contoh awal misalnya,
mengapa ia dilambangkan dengan bunyi kitab ? Bukan katab,katib, dsb?, maka dari
itu bahasa sifatnya arbirter (mana suka). Akan tetapi kemanasukaan bahasa ini
dibarengi dengan sifatnya yang konvensional, jadi meskipun ia manasuka tetapi
manasukaan bahasa nanti telah disepakati oleh pengguna bahasa sehingga ia dapat
memberi pemahaman yang sama antara pengguna bahasa yang satu dengan yang lain,
dan itulah yang menjadikan bahasa mampu berfungsi sebagai alat komunikasi, dan
bahasa juga bersifat prokduktif karena hanya bermodalkan beberapa suara atau
kata saja manusia mampu melahirkan banyak kata-kata yang lain juga
kalimat-kalimat yang lain.
Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa bahasa terdiri dari
komponen-komponen karenanya ia dinamakan sebagai sistem, hal ini mungkin bisa
kita anggap sebagai sesuatu yang rancau karena sebagai contoh ketika
mendengarkan komentator bola yang tanpa jeda berbicara misalnya
“boladitentang,dangollll”. Dari contoh tersebut seolah-olah ucapan atau bahasa
seorang komentator tersebut adalah hal yang tunggal akan tetapi apabila ucapan
tadi kita perlambat selambat lambatnya maka dari yang tunggal tadi biasa
menjadi bersegmen-segmen hingga kita dapatkan suara komentator menjadi “b o l a
d i t e n d a n g d a n g o l”. Dari sini bisa kita mengerti jika bahasa
komentator tadi terdiri dari beberapa komponen nantinya tidak lagi sebagai hal
yang tunggal.
Dalam kajian linguistik, ilmu yang berbicara tentang bunyi yang
berasal dari deretan bunyi bahasa manusia dikenal dengan fonologi. Cabang ilmu
ini dibagi menjadi 2 yaitu fonetik dan fonemik yang sama-sama mengkaji bunyi,
perbedaan dari keduanya ialah fonetik hanya berbicara bunyi bahasa tanpa
melihat apakah nantinya ia memberi pengaruh perbedaan ma’na saat bunyi tersebut
digunakan untuk berbahasa. Contoh ada bahasa “m e j a”, maka yang dikaji dalam
fonetik ialah darimana bunyi M itu berasal misalnya? Bagaimana proses keluarnya
bunyi M ,dsb ia tidak membahas bunyi M yang menentukan ma’na atau konsep meja,
hal ini berbeda dengan fonemik yang selalu bersangkatan dengan ma’na yang
disebabkan oleh suatu bunyi bahasa didalam bahasa. Contoh bahasa maju dan laju,
maka ia akan membahas bunyi M dan L yang bisa membedakan ma’na dari kedua
bahasa tesebut.
Dalam fonetik secara umum yang menjadi pokok pembahasan ialah alat
ucap atau sumber dari suara-suara bahasa dan proses fonasi atau gambaran atau
langkah bagaiman suara tersebut bisa tercipta.
Dalam kajian alat ucap, yang perlu diperhatikan ialah apasajakah
alat atu organ manusia yang berpotensi menghasilkan bunyi bahasa, lalu kita
harus mengenal bahasa latinnya untuk setiap alat ucap tersebut, karena penamaan
bunyi bahasa akan bersumber dari sana.
Selanjutnya ialah proses fonasi atau proses terjadinya bahasa yang
dimulai dari pemompaan udara keluar dari paru-paru melalui pangkal tenggorokan
yang didalamnya terdapat pita suara, lalu dari pita suara yang terbuka agak
lebar atau terbuka sedikit suara bisa keluar melalui rongga mulut atau rongg
hidung dan akan menghasilkan bunyi konsonan apabila ia mendapatkan hambatan,
lalu dari hambatan tersebut lahir penamaan bunyi bahasa, sedengkan apabila ia
tidak mendapatkan hambatan maka ia menghasilkan suara vokal.
Fonemik sebagai
cabang dari fonologi ia akan berbicara tentang fonem atau suara yang menjadi
pembeda ma’an bunyi bahasa. Cara yang paling simpel adalah membandingkan
beberapa bahasa yang memiliki kemiripan suara lalu apabila ia memiliki arti
yang berbeda maka ia dinamakan sebaagi fonem. contoh fonem a dan e dalam marah
dan merah yang keduanya adalah bunyi bahas (kata) yang mirip sama akan tetapi
memilik arti yang berbeda. Fonem-fonem (suara) ini dalam pengucapannya juga
mengalami perbedaan, meskipun ia masih tergolong didalam satu fonem, perbedaan
pengucapan itu terjadi disebabkan keberadaan satu fonem yang bersanding dengan
fonem-fonem yang lain. Contoh fonem o dalam kata opor (makanan) dan otak.
Perbadaan pengucapan tersebut lazim disebut dengan istilah alofon.
Suara terkecil dari bahasa yang dikaji dalam fonologi seperti e, a,
d, dll belum memilki arti apapun, meskipun ada bahasa manusia yang memiliki
kata berarti dari satu suara, seperti a dalam bahasa Arab yang berarti apakah,
dsb. Arti tercipta apabila suara-suara
tersebut saling bergabung. Contoh ke dari k, dan e. Suara yang sama, dalam
artian ia memilki bentuk dan arti yang sama dinamakan morfem. Morfem nanti ada
yang bisa berdiri sendiri ia sudah berarti (morfem bebas) seperti meja, dan ada
yang harus digabung dengan morfem lain agar ia memiliki arti yang utuh (morfem
terikat), seperti me dalam menjadi, morfem jenis yang kedua ini
memilki bentuk yang bermacam-macam saat ia tampil dalam suatu kata, perbedaan
bentuk tersebut disebabkan oleh kondisi morfem lain dimana ia digabungkan. Perbedaan
wujud dari satu morfem ini disebut dengan alomorf.
Kata yang dibentuk dari morfem bentuk yang kedua ini pasti
berbentuk kata yang tak utuh dalam artian ia bisa kita segmentasikan karena
pada dasarnya ia terdiri dari satu bebas ditambah dengan morfem terikat
(afiksasi), entah tambahan itu berupa di awal, tengah, akhir,dll.
Kata sendiri memiliki arti sebagai satuan gramatikal terkecil
didalam suatu ucapan yang sudah memiliki konsep atau arti. untuk menjadi sebuah
kata sebagian kata harus melalui sebuah proses terlebih dahulu, dan
prosesnyapun bermacam-macam, seperti afiksasi yang telah dipaparkan diatas,
reduplikasi atau pengulangan seperti kata kecil-kecil, komposisi atau
penggabungan morfem dasar yang berujung pada identitas leksikal yang baru atau berbeda,
seperti kata lalu lintas, pemendekan seperti RS (rumah sakit), dan lain-lain.
Semua proses yang telah digambarkan ini dinamakan dengan proses morfemis yang
berangkat dari sebuah morfem menjadi kata. Di dalam linguistik ilmu yang
berbicara tentang morfem sebagai pembentuk kata dikenal dengan morfologi.
Setelah kata terbentuk maka keberadaan kata didalam suatu ucapan
menjadi pembahasan yang serius didalam linguistik hingga lahir kanjian
sintaksis untuk berbicara hal tersebut. Kajian kata dalam suatu ucapan bisa
dibagi menjadi fungsi kata, kategori, dan peran kata tersebut. Fungsi kata
meliputi subjek, predikat, objek, keterangan.kategori kata meliputi nomina,
verba, ajektifa, dan numeralia, lalu peran kata yang meliputi pelaku, penderita
penerima dan sebagainya.
Sesudah kata ada frase yang menjadi kajian sintaksis, frase adalah
gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis dan bersifat
nonpredikatif dengan kata lain apabila seseorang mengucapkan satu frase pada
orang lain maka orang lain tersebut belum mendapatkan informasi yang utuh.
Contohnya ialah mahasiswa kampus. Hal tersebut berbeda apabila seseorang
berbicara mahasiswi cantik, maka ucapan tersebut sudah memberi informasi yang
utuh kepada orang yang diajak berbicara karenanya ia sudah bersifat predikatif.
Contoh yang kedua inilah yang dinamakan sebagai klausa. Jadi perbedaan yang
mendasar dari frase dan klausa adalah ada tidaknya predikat yang terkandung
didalamnya. Kemudian dari contoh yang
kedua tadi kita bisa juga menyebutnya sebagai kalimat apabila ia kita beri
intonasi akhir. Intonasi akhir tersebut biasa sebuah intonasi deklaratif
(titik), interogatif (tanya), dan intonasi seru. Jadi yang perbedaan antara
klausa dan kalimat ialah intonasi akhirnya.
Kalimat yang bisa dideteksi dengan adanya intonasi akhir akan
banyak kita jumpai ketika kita membaca atau mendengarkan pembicaraan seseorang.
Berangkat dari hal ini maka kalimt belumlah menjadi satuan sintaksis tertinggi,
satuan sintaksis yang paling tinggi ialah wacana yang terdiri dari beberapa
kalimat dan memiliki sifat serasinya hubungan antara unsur-unsur pembentuk
wacana (kalimat-kalimat) yang dikenal dengan istilah kohesif, dan dari kohesif
ini wacana akan memiliki isi yang apik dan benar atau koheren. Untuk
membangun wacana yang koheren sekaligus kohesif maka dibutuhkanlah media atau
alat yang melingkupi aspek gramatikal (bisa dilihat/berupa kata) ataupun
semantik (tidak kelihatan/arti). Alat-alat seperti konjungsi (menghubungan), penggunaan kata ganti, elipsis (menghilangkat
kalimat yang terdapat pada kalimat lain) merupakan sebagian dari aspek
gramatikal, sedangkan penggunaan hubungan pertentangan, generik-spesifik,
perbandingan kalimat, penggunaan hubungan sebab akibat ialah sebagian dari
aspek semantik.
Semantik sendiri merupakan salah satu kajian didalam ilmu
linguistik, ia berbicara ma’na yang berada didalam seluruh unsur-unsur bahasa
yang telah dijelaskan diatas, mulai dari fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Ma’na dalam kehidupan berbahasa nantinya akan luas apabila dikaji
mendetail. Yang terpenting kita mengerti bahwa dari satu kata ia punya satu
ma’na yang disebut dengan makna leksikal, lalu setelah ia digunakan dalam suatu
ujaran ia akan memiliki ma’na gramatikal dan yang terakhir melihat melihat
konteks dimana ia diucapkan maka satu kata tadi memiliki ma’na kontekstual.
Jika kita kaji berkaitan dengan relasinya dengan kata lain maka
ma’na bisa berupa sinonim yang berarti dua kata memiliki satu ma’na, antonim
yang berarti dua kata yang berma’na sangat kontras, polisemi yang berarti satu
kata dengan beberapa varian ma’na seperti yang digambarkan oleh ma’na
kontekstual, homonim yang berarti dua kata yang kebetulan sama ujarannya akan
tetapi masing-masing dari keduanya memilki ma’na yang berbeda, dan lain
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar