Selasa, 01 September 2015

LINGUISTIK, Sebuah Catatan


Oleh: Abdul Cholik (13.11.00693)
Secara sederhana istilah linguistik diturunkan dari bahasa latin lingua yang berarti bahasa, kemudian dalam penggunaannya istilah linguistik dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara atau menjadikan bahasa sebagai objek yang ia kaji. Selanjutnya orang yang ahli didalam ilmu ini lazim disebut dengan linguis.
Bahasa yang menjadi objek kajian ilmu linguistik memiliki pengertian sebagai sitem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, konvensional, produktif, dan berfungsi sebagai alat komunikasi manusia.
Bahasa dikatakan sebagai sistem karena ia bukan suatu hal yang tunggal, dalam artian ia terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi sehingga muncullah bahasa tersebut. Diantara komponenen-komponen bahasa tersebut ialah fon, fonem, morfem, dsb. Selanjutnya bahasa dikatakan lambang bunyi karena pada hakikatnya bahasa melambangkan sesuatu yang ada dikehudupan manusia. Sebagai contoh beberapa kertas kuning yang dituliskan tulisan Arab lalu dijilid dilambangkan (dibahasakan) dengan “kitab” dsb, pelambangan-pelambangan tersebut nantinya  akan berupa bunyi yang keluar dari alat ucap manusia, jadi tidak semua  bunyi bisa dikatakan  sebagai bunyi bahasa melainkan minimal bunyi tersebut haruslah bunyi yang melambangkan tentang suatu hal dan ia tersusun dari komponen-komponen bahasa selain juga ia keluar dari alat ucap manusia tadi. Dan perlu digarisbawahi pula bahwa bunyi yang digunakan untuk melambangkan suatu hal itu sifatnya manasuka, jadi tidak akan diketemukan mengapa hal itu dilambangkan dengan bunyi ini dan seterusnya. Dari contoh awal misalnya, mengapa ia dilambangkan dengan bunyi kitab ? Bukan katab,katib, dsb?, maka dari itu bahasa sifatnya arbirter (mana suka). Akan tetapi kemanasukaan bahasa ini dibarengi dengan sifatnya yang konvensional, jadi meskipun ia manasuka tetapi manasukaan bahasa nanti telah disepakati oleh pengguna bahasa sehingga ia dapat memberi pemahaman yang sama antara pengguna bahasa yang satu dengan yang lain, dan itulah yang menjadikan bahasa mampu berfungsi sebagai alat komunikasi, dan bahasa juga bersifat prokduktif karena hanya bermodalkan beberapa suara atau kata saja manusia mampu melahirkan banyak kata-kata yang lain juga kalimat-kalimat yang lain.
Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa bahasa terdiri dari komponen-komponen karenanya ia dinamakan sebagai sistem, hal ini mungkin bisa kita anggap sebagai sesuatu yang rancau karena sebagai contoh ketika mendengarkan komentator bola yang tanpa jeda berbicara misalnya “boladitentang,dangollll”. Dari contoh tersebut seolah-olah ucapan atau bahasa seorang komentator tersebut adalah hal yang tunggal akan tetapi apabila ucapan tadi kita perlambat selambat lambatnya maka dari yang tunggal tadi biasa menjadi bersegmen-segmen hingga kita dapatkan suara komentator menjadi “b o l a d i t e n d a n g d a n g o l”. Dari sini bisa kita mengerti jika bahasa komentator tadi terdiri dari beberapa komponen nantinya tidak lagi sebagai hal yang tunggal.
Dalam kajian linguistik, ilmu yang berbicara tentang bunyi yang berasal dari deretan bunyi bahasa manusia dikenal dengan fonologi. Cabang ilmu ini dibagi menjadi 2 yaitu fonetik dan fonemik yang sama-sama mengkaji bunyi, perbedaan dari keduanya ialah fonetik hanya berbicara bunyi bahasa tanpa melihat apakah nantinya ia memberi pengaruh perbedaan ma’na saat bunyi tersebut digunakan untuk berbahasa. Contoh ada bahasa “m e j a”, maka yang dikaji dalam fonetik ialah darimana bunyi M itu berasal misalnya? Bagaimana proses keluarnya bunyi M ,dsb ia tidak membahas bunyi M yang menentukan ma’na atau konsep meja, hal ini berbeda dengan fonemik yang selalu bersangkatan dengan ma’na yang disebabkan oleh suatu bunyi bahasa didalam bahasa. Contoh bahasa maju dan laju, maka ia akan membahas bunyi M dan L yang bisa membedakan ma’na dari kedua bahasa tesebut.
Dalam fonetik secara umum yang menjadi pokok pembahasan ialah alat ucap atau sumber dari suara-suara bahasa dan proses fonasi atau gambaran atau langkah bagaiman suara tersebut bisa tercipta.
Dalam kajian alat ucap, yang perlu diperhatikan ialah apasajakah alat atu organ manusia yang berpotensi menghasilkan bunyi bahasa, lalu kita harus mengenal bahasa latinnya untuk setiap alat ucap tersebut, karena penamaan bunyi bahasa akan bersumber dari sana.
Selanjutnya ialah proses fonasi atau proses terjadinya bahasa yang dimulai dari pemompaan udara keluar dari paru-paru melalui pangkal tenggorokan yang didalamnya terdapat pita suara, lalu dari pita suara yang terbuka agak lebar atau terbuka sedikit suara bisa keluar melalui rongga mulut atau rongg hidung dan akan menghasilkan bunyi konsonan apabila ia mendapatkan hambatan, lalu dari hambatan tersebut lahir penamaan bunyi bahasa, sedengkan apabila ia tidak mendapatkan hambatan maka ia menghasilkan suara vokal.
            Fonemik sebagai cabang dari fonologi ia akan berbicara tentang fonem atau suara yang menjadi pembeda ma’an bunyi bahasa. Cara yang paling simpel adalah membandingkan beberapa bahasa yang memiliki kemiripan suara lalu apabila ia memiliki arti yang berbeda maka ia dinamakan sebaagi fonem. contoh fonem a dan e dalam marah dan merah yang keduanya adalah bunyi bahas (kata) yang mirip sama akan tetapi memilik arti yang berbeda. Fonem-fonem (suara) ini dalam pengucapannya juga mengalami perbedaan, meskipun ia masih tergolong didalam satu fonem, perbedaan pengucapan itu terjadi disebabkan keberadaan satu fonem yang bersanding dengan fonem-fonem yang lain. Contoh fonem o dalam kata opor (makanan) dan otak. Perbadaan pengucapan tersebut lazim disebut dengan istilah alofon.
Suara terkecil dari bahasa yang dikaji dalam fonologi seperti e, a, d, dll belum memilki arti apapun, meskipun ada bahasa manusia yang memiliki kata berarti dari satu suara, seperti a dalam bahasa Arab yang berarti apakah, dsb.  Arti tercipta apabila suara-suara tersebut saling bergabung. Contoh ke dari k, dan e. Suara yang sama, dalam artian ia memilki bentuk dan arti yang sama dinamakan morfem. Morfem nanti ada yang bisa berdiri sendiri ia sudah berarti (morfem bebas) seperti meja, dan ada yang harus digabung dengan morfem lain agar ia memiliki arti yang utuh (morfem terikat), seperti me dalam menjadi, morfem jenis yang kedua ini memilki bentuk yang bermacam-macam saat ia tampil dalam suatu kata, perbedaan bentuk tersebut disebabkan oleh kondisi morfem lain dimana ia digabungkan. Perbedaan wujud dari satu morfem ini disebut dengan alomorf.
Kata yang dibentuk dari morfem bentuk yang kedua ini pasti berbentuk kata yang tak utuh dalam artian ia bisa kita segmentasikan karena pada dasarnya ia terdiri dari satu bebas ditambah dengan morfem terikat (afiksasi), entah tambahan itu berupa di awal, tengah, akhir,dll.
Kata sendiri memiliki arti sebagai satuan gramatikal terkecil didalam suatu ucapan yang sudah memiliki konsep atau arti. untuk menjadi sebuah kata sebagian kata harus melalui sebuah proses terlebih dahulu, dan prosesnyapun bermacam-macam, seperti afiksasi yang telah dipaparkan diatas, reduplikasi atau pengulangan seperti kata kecil-kecil, komposisi atau penggabungan morfem dasar yang berujung pada identitas leksikal yang baru atau berbeda, seperti kata lalu lintas, pemendekan seperti RS (rumah sakit), dan lain-lain. Semua proses yang telah digambarkan ini dinamakan dengan proses morfemis yang berangkat dari sebuah morfem menjadi kata. Di dalam linguistik ilmu yang berbicara tentang morfem sebagai pembentuk kata dikenal dengan morfologi.
Setelah kata terbentuk maka keberadaan kata didalam suatu ucapan menjadi pembahasan yang serius didalam linguistik hingga lahir kanjian sintaksis untuk berbicara hal tersebut. Kajian kata dalam suatu ucapan bisa dibagi menjadi fungsi kata, kategori, dan peran kata tersebut. Fungsi kata meliputi subjek, predikat, objek, keterangan.kategori kata meliputi nomina, verba, ajektifa, dan numeralia, lalu peran kata yang meliputi pelaku, penderita penerima dan sebagainya.
Sesudah kata ada frase yang menjadi kajian sintaksis, frase adalah gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis dan bersifat nonpredikatif dengan kata lain apabila seseorang mengucapkan satu frase pada orang lain maka orang lain tersebut belum mendapatkan informasi yang utuh. Contohnya ialah mahasiswa kampus. Hal tersebut berbeda apabila seseorang berbicara mahasiswi cantik, maka ucapan tersebut sudah memberi informasi yang utuh kepada orang yang diajak berbicara karenanya ia sudah bersifat predikatif. Contoh yang kedua inilah yang dinamakan sebagai klausa. Jadi perbedaan yang mendasar dari frase dan klausa adalah ada tidaknya predikat yang terkandung didalamnya. Kemudian  dari contoh yang kedua tadi kita bisa juga menyebutnya sebagai kalimat apabila ia kita beri intonasi akhir. Intonasi akhir tersebut biasa sebuah intonasi deklaratif (titik), interogatif (tanya), dan intonasi seru. Jadi yang perbedaan antara klausa dan kalimat ialah intonasi akhirnya.
Kalimat yang bisa dideteksi dengan adanya intonasi akhir akan banyak kita jumpai ketika kita membaca atau mendengarkan pembicaraan seseorang. Berangkat dari hal ini maka kalimt belumlah menjadi satuan sintaksis tertinggi, satuan sintaksis yang paling tinggi ialah wacana yang terdiri dari beberapa kalimat dan memiliki sifat serasinya hubungan antara unsur-unsur pembentuk wacana (kalimat-kalimat) yang dikenal dengan istilah kohesif, dan dari kohesif ini wacana akan memiliki isi yang apik dan benar atau koheren. Untuk membangun wacana yang koheren sekaligus kohesif maka dibutuhkanlah media atau alat yang melingkupi aspek gramatikal (bisa dilihat/berupa kata) ataupun semantik (tidak kelihatan/arti). Alat-alat seperti konjungsi (menghubungan),  penggunaan kata ganti, elipsis (menghilangkat kalimat yang terdapat pada kalimat lain) merupakan sebagian dari aspek gramatikal, sedangkan penggunaan hubungan pertentangan, generik-spesifik, perbandingan kalimat, penggunaan hubungan sebab akibat ialah sebagian dari aspek semantik.
Semantik sendiri merupakan salah satu kajian didalam ilmu linguistik, ia berbicara ma’na yang berada didalam seluruh unsur-unsur bahasa yang telah dijelaskan diatas, mulai dari fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Ma’na dalam kehidupan berbahasa nantinya akan luas apabila dikaji mendetail. Yang terpenting kita mengerti bahwa dari satu kata ia punya satu ma’na yang disebut dengan makna leksikal, lalu setelah ia digunakan dalam suatu ujaran ia akan memiliki ma’na gramatikal dan yang terakhir melihat melihat konteks dimana ia diucapkan maka satu kata tadi memiliki ma’na kontekstual.
Jika kita kaji berkaitan dengan relasinya dengan kata lain maka ma’na bisa berupa sinonim yang berarti dua kata memiliki satu ma’na, antonim yang berarti dua kata yang berma’na sangat kontras, polisemi yang berarti satu kata dengan beberapa varian ma’na seperti yang digambarkan oleh ma’na kontekstual, homonim yang berarti dua kata yang kebetulan sama ujarannya akan tetapi masing-masing dari keduanya memilki ma’na yang berbeda, dan lain sebagainya.






            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar