Oleh:
Abdul Cholik[2]
Abstrak
Sebagai kajian pokok ilmu fonologi, diftong yang termasuk dari
klasifikasi bunyi bahasa secara otomatis mendapat perhatian penuh guna dikaji.
Diftong sendiri bukanlah konsonan ataupun vokal, melainkan ia merupakan semi
vokal yang terdiri dari dua vokal akan tetapi menghasilkan satu bunyi. Dari
kedua vokalan itu diftong diklasifikasikan menjadi diftong naik dan turun.
Dalam bahasa Arab kajian tentang diftong hanya ada dua bentuk yaitu ya’ sukun
atau wau sukun yang didahului fathah, keduanya masuk dalam diftong naik.
Kata
kunci: Diftong, Vokal, dan artikulasi
A. Pendahuluan
Berbicara
tentang fonologi berarti kita sedang berbicara tentang bunyi bahasa, karena
objek kajian dari ilmu ini ialah bunyi dan perihal yang bersangkutan dengannya.
Bunyi
sendiri pada mulanya diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu bunyi vokal dan
konsonan. Perbedaan dari keduanya dapat kita cermati dari proses fonasinya
dimana bunyi vokal terjadi tatkala udara dari paru-paru dengan pita suara
sedikit terbuka lalu udara tersebut keluar tanpa adanya hambatan, sedangkan
konsonan mendapat hambatan dan kondisi pita suara terkadang terbuka agak lebar.
Dalam
perkembangan selanjutnya ternyata didalam bahasa juga ada satu bunyi yang tersusun
dari dua vokal sekaligus, bunyi ini dalam kajian fonologi disebut dengan nama
diftong. Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana proses artikulasi diftong
tersebut. Hal ini menarik karena ia mengandung dua macam vokal sekaligus. Lalu
kita sebagai mahasiswa pendidikan bahasa Arab bertanya-tanya, seperti apakah
diftong dalam bahasa Arab?.
Dalam
makalah ini kami akan mencoba menjabarkan hal tersebut.
B. Diftong dalam bahasa arab
Sebelum
kita menelisik lebih jauh tentang diftong dalam bahasa Arab, marilah kita
mengerti terlebih dahulu defenisi dari diftong. Disebut diftong atau vokal
rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya
dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya
lidah, bagian lidah, dan strikturnya. Namun bunyi yang dihasilkan bukan dua
bunyi melainkan satu bunyi karena berada dalam satu silabel.[3]
Contoh diftong dalam bahasa Arab adalah [au], seprti terdapat dalam kata yaum.
Contoh lain adalah bunyi [ai] seperti terdapat dalam kata maidan.[4]
Dalam
bahasa Arab, diftong dikenal dengan istilah nisful kharakat/semi
vokal.[5]
Hal ini berarti bahwa ia bukan sepenuhnya vokal (harakat) dan sekaligus
bukan sepenuhnya pula ia termasuk konsonan (huruf). Hal tersebut terjadi
karena dilihat dari proses fonasinya ia mendapatkan hambatan yang berarti ia
juga memiliki makhraj khusus yang kedua hal ini melekat pada ciri-ciri
huruf. Akan tetapi jika kita cermati dari cara pengartikulasiannya diftong
tidak sampai sempurna seperti halnya yang terjadi didalam huruf, bahkan
lebih mirip dengan penuturan vokal dari segi bentuk bibir ketika
mengucapkannya.
Ibnu
jizri memasukan diftong kedalam kelompok sukun, karena menurut beliau
bunyi dalam bahasa Arab diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: huruf, harokat,
sukun.[6]
Sukun sendiri nantinya dibagi menjadi dua yaitu
yaitu mayyitun dan hayyun. Lalu beliau menyebutkan bahwa yang
termasuk dari kelompok mayyitun adalah alif dan ya sukun
yang di dahului kasroh, serta wawu sukun yang di dahului dlummah.
Lalu sukun yang hayyun menurut beliau apabila ada wawu atau ya
sukun yang di dahului dengan fathah. Sukun yang hayyun ini nantinya kita
sebut sebagai diftong dalam bahasa Arab.
Makhorijul dari sukun yang hayyun ialah dari lisan dan
antara dua bibir menurutnya. Beliau lalu mencontohkan kata romaitu dan afautu
untuk masalah ini.
Ada juga
yang membagi suara bahasa Arab menjadi shomit dan kharokat, namun
dalam membahas hal ini ulama’ membahas wawu dan ya’ dalam bahasan tersendiri.
a.
Tatkala
ia berharakat maka ulama memasukannya dalam kelas bunyi bahasa kharakat.
b.
Tatkala
ia sukun dan sebelumnya berkharakat yang menyebabkan ia dibaca panjang
(ya’ sukun yang sebelumnya kasroh, dan wawu sukun yang sebelumnya dlummah) maka
ulama menyebutnya hal ini dengan istilah kharakat thowilah.
c.
Dan
apabila ia sukun dan sebelumnya berkharakat fathah, maka ulama’ mengistilahkan
ini dengan syibhul kharokat.[7]
Untuk wawu
sukun yang sebelumnya berkharakat kasrah dan ya’ sukun yang sebelumnya berkharakat
dlummah dalam bahasa Arab tidak ditemukan hal ini dalam satu kata.
C. Macam-macam diftong.
Seperti
yang telah kami paparkan dimuka bahwa diftong juga dikenal dengan istilah vokal
rangkap karena ia terdiri dari dua vokal akan tetapi membentuk satu bunyi
karena bunyi tersebut berada dalam satu silabel. Karena terdiri dari dua vokal
itulah nantinya kita bisa membuat pengklasifikasian diftong. Dari sana kita
akan dapatkan macam-macam diftong nantinya.
Diftong
sering dibedakan berdasarkan letak atau posisi unsur-unsurnya.[8]
Yang dimaksud unsur-unsur tersebut ialah dua vokal yang menyusun suatu diftong itu
sendiri. Sedangkan yang dimaksud letak atau posisi disini adalah tinggi
rendahnya suatu vokal. Berikut gambaran tingkatan posisi suatu vokal. Dari yang
tertinggi ke terendah.
Selanjutnya
diftong dibagi menjadi diftong naik dan diftong turun. Disebut diftong naik
karena bunyi pertama posisinya lebih rendahdari posisi bunyi kedua, sebaliknya
disebut diftong turun apabila bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi
kedua.
Melihat
pembagian diftong dalam bahasa Arab menurut imam Jizri yaitu apabila ada ya
sukun yang didahului fathah /ai/ dan
wawu sukun yang didahului fathah /au/ maka bahasa Arab hanya mengenal
diftong naik.
D. Artikulasi diftong bahasa Arab.
Berikut
ini deskripsi dari dua semivokal dalam bahasa Arab, sebagai berikut:
1.
Waw (و)
Untuk
memproduk semivokal ini, organ bicara mengambil posisi seperti akan
menuturkan
sebuah vokal (u), tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut
mengubah posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
Kedua
bibir membulat untuk memodifikasi arus udara yang datang dari paru-paru, tetapi
tidak sampai menghambat arus udara secara kuat.
Pita
suara berada dalam posisi berdekatan sehingga terjadi getaran ketika udara
melewati areal ini.
Saluran
udara ke rongga hidung tertutup sehingga semua udara keluar dari rongga mulut.
Oleh karena itu, semivokal ini di deskripsikan dengan:
/bilabial/semivokal/bersuara/.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa organ bicara yang bekerja sama menghambat udara yang
datang dari paru-paru adalah pangkal lidah naik ke langit-langit lunak, mirip
seperti menuturkan kha, ghain, kaf.
Oleh
sebab itu, semivokal ini dideskripsikan dengan:
/darsovelar/semivokal/bersuara/.
2.
Ya’
(ي)
Untuk
memproduk semivokal ini, organ bicara mengambil posisi seperti akan menuturkan
sebuah vokal (i). Tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut
mengubah posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
Tengah
lidah bekerja sama dengan langit-langit untuk menghambat arus udara yang datang
dari paru-paru, tetapi hambatan tersebut tidak kuat sehingga arus udara bisa
keluar dengan leluasa di daerah ini.
Kedua
bibir membentang untuk memodifikasi arus udara yang datang dari paru-paru,
sedangkan pita suara berada dalam posisi berdekatan sehingga terjadi getaran
ketika udara melewati areal ini.Saluran udara ke rongga hidung tertutup
sehingga semua udara keluar dari rongga mulut. Oleh karena itu, semivokal ini
di deskripsikan dengan: /mediopalatal/semivokal/bersuara/.[9]
E. Kesimpulan
1.
Diftong
adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan posisi lidah saat memproduksi bunyi
ini tidak sama dibagian awal dan akhirnya.
2.
Didalam
bahasa Arab hanya ada dua bunyi diftong yaitu /au/ dan /ai/ yang keduanya
termasuk dalam diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah
dibandingkan dengan bunyi yang kedua.
3.
Artikulasi
diftong waw ialah organ bicara mengambil posisi seperti akan menuturkan sebuah
vokal (u), tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut mengubah
posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
4.
Artikulasi
diftong ya’ ialah organ bicara mengambil posisi seperti akan menuturkan sebuah
vokal (i). Tetapi dalam waktu yang sangat cepat organ bicara tersebut mengubah
posisi seolah-olah hendak menuturkan sebuah vokal lain (a).
Daftar Pustaka
Bu
anani, Musthofa. 2010. fii shoutiyati al arobiyyah wal ghorbiyyah. al
alimil kutub al hadist.
Chaer, Abdul. 2005. Linguistik Umum. Jakarta:
Renika Cipta.
Hidayatullah,
Moch. Syarif dan Abdullah. 2010. Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik
Modern). Jakarta: UIN Syarif hidayatullah.
Nasution , Ahmad Sayuthi Anshori. 2010. Bunyi Bahasa: ilm al
aswat al arabi, Jakarta: Grafika Ofset.
Hasan,
Muhammad. 2006. Mukhtasor fil aswatil lugoh al arabiyyah, Kairo:
Maktabal Adab.
[3] Abdul Chair, Linguistik
Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal: 115
[4]Moch. Syarif
Hidayatullah, dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern),
(Jakarta: UIN Syarif hidayatullah, 2010), hal: 42
[5] Ahmad Sayuthi
Anshori Nasution, Bunyi Bahasa: ilm al aswat al arabi, (Jakarta: Grafika
Ofset, 2010), hal:86
[6]Musthofa Bu anani,
fii shoutiyati al arobiyyah wal ghorbiyyah, (al alimil kutub al hadist:
2010), hal:95
[7] Muhammad Hasan, Mukhtasor fil aswatil lugoh al arabiyyah, (Kairo:
Maktabal Adab, 2006), ha.151
[8] Abdul Chair, Linguistik
Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal: 115
[9] Ahmad Sayuthi
Anshori Nasution, Bunyi Bahasa: ilm al aswat al arabi, (Jakarta: Grafika
Ofset, 2010), hal:108
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus